Senin, 27 Agustus 2012

Surga Milik Siapa?


Pada suatu hari Jumat, saya mendengar khotbah di Salman. Sang khotib suaranya keras, kadang suaranya meninggi dan tampak sebagai bentakan dibandingkan kewajaran dinamika intonasi orang yang berpidato.

Saya tidak tahu siapa dia, namun saya mengenali suaranya karena memang bukan sekali ini saja beliau menjadi khotib Jumat di sini.

Dahulu pernah, beliau ini membahas tentang betapa kotornya konspirasi penggunaan uang sebagai alat tukar pembayaran atau kartal. Dengan suara keras beliau minta kita semua melawan itu, dan mengajakan kami semua mulai menggunakan dinar dan dirham sebagai alat pembayaran.
Saya berpikir: “Walah, gimana caranya ya? Mau bayar angkot, beli buku, atau nasi bungkus gimana caranya kalau pakai dirham atau dinar?”
Kenapa beliau tidak bicara di forum negara Islam seperti OKI, menyampaikan ke anggota dewan, menghadap menteri keuangan, atau presiden untuk mengusulkan hal tersebut, dibandingkan dia memarahi kami semua di hari Jumat ini karena kami dianggap ikut ambil bagian dari konspirasi Israel dan antek-anteknya.

Pada hari Jumat yang lain, Mubalig ini membahas tentang nistanya bunga bank. Dia menyitir suatu hadist, dan mengeraskan, atau tepatnya membentak dengan keras “bunga bank itu riba, dan riba itu sama seperti berzinah dengan ibu kandung!”.
Saya tak punya cara untuk bisa menuliskan kata-kata di atas dengan tanda baca dan format font yang bisa mewakili ekspresi yang menandakan kalimat tersebut diucapkan dengan nada tinggi, keras, tajam, melengking, sehingga kucing yang ada di pelataran Salman pun meloncat kaget lari pontang-panting. Memang suara kerasnya sangat tidak nyaman, benar-benar seperti orang yang berteriak memanggil temannya di ujung lapangan bola, padahal itu diucapkan di depan microphone.

Dulu waktu masih kuliah, dan sedang di Mesjid Istiqomah di hari Ahad mendengarkan kuliah dhuha yang cukup padat dengan para ABG laki-perempuan, si ustadznya saat itu juga tergolong keras. Dia menyampaikan tentang wajibnya menutup aurat bagi para akhwat.
Dia mengatakan  “makhluk yang tidak menutup aurat itu hanya binatang, jadi para ibu-ibu dan para gadis yang tidak menutup aurat, tidak pake kerudung itu tidak ada bedanya dengan binatang”.
Saya tidak tahu, apakah para akhwat yang hadir saat itu dan belum sanggup memakai kerudung akan datang lagi pada kuliah dhuha Ahad depan.

Kira-kira setengah tahun yang lalu, saya kembali Jumatan di Mesjid Salman, dan “sialnya” ketemu dengan khotib yang sama. Khotib yang pemarah itu.
Kali ini dia membahas tentang brengseknya anggota dewan yang terhormat, money politics, studi banding ke luar negeri, uang perjalanan anggota dewan, tawar-menawar saat menyusun anggaran, berbagai jenis suap di gedung Senayan tersebut, dan sebagainya.
Si khotib kembali berteriak seperti memanggil temannya di ujung lapangan bola pakai mikrofon: “Semua anggota dewan itu adalah penghuni neraka. Haram mereka masuk surga!”
Saya berpikir: “Wah, hebat benar dia. Sejak kapan dia ditugasi oleh Allah swt menjadi penentu siapa yang berhak lewat ke Surga dan tidak”.

Sungguh sial, saya nggak yakin dengan keikhlasan ibadah Jumat saya. Saya memang sebal dan mau muntah dengan perilaku anggota dewan, namun kalau sampai judgement masuk surga-neraka dibawa-bawa, wah wah wah. . . ., apalagi itu diucapkan dengan cara yang sama, dan kucing yang sama pula kembali meloncat kaget dan lari terbirit-birit.

Dulu saya punya teman satu kantor, dia anggota suatu kelompok tertentu. Dia pernah mengajak saya bergabung dengan jamaah mesjidnya. Dia mengatakan, kelompoknya adalah termasuk ke dalam 70 golongan yang akan masuk surga.

Ciri khas dari kelompok ini memang unik. Mereka mempunyai mesjid sendiri, jika sedang diluar, seperti di kantor, di tempat umum, di rumah kerabat/kolega, dsb, mereka tak akan mau diimami sholat oleh anggota yang bukan kelompoknya karena sholatnya tidak sah. Mereka pun tidak akan mau menggunakan sajadah yang kita gunakan.
Pernah kawan saya yang lain yang bukan anggota kelompoknya menggunakan sajadah teman saya itu dan memang benar saat sholat dia menggunakan koran, lalu sajadahnya yang dipakai kawan saya yang lain itu dia bawa pulang.
Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada sekretaris kantor yang pernah “nyantren” di mesjid tersebut beberapa bulan, lalu “kabur” begitu akan dibaiat.
Dia bilang “Memang gitu mas, sajadahnya dibawa pulang untuk dicuci 7 kali karena terkena najis”.

Waktu ada tugas perjalanan dinas keluar kota, kami kebetulan berangkat bersama. Saat akan sholat di hotel, teman saya tersebut sedang mengambil wudhu, lalu saya pun iseng.
Saya dengan sengaja mengambil sajadahnya yang ada di lemarinya, lalu saya pakai sholat, sementara dia masih masih di kamar mandi.
Betul juga, saat dia keluar dan tahu sajadahnya sudah saya pakai, ia pun sholat dengan menggunakan handuk mandi sebagai alas. Betul juga, berarti memang benar saya dianggap najis.

Di mesjid kompleks saya, setiap minggu ke-4 kuliah subuh selalu diisi oleh seorang ulama dari sebuah pesantren terkenal di Bandung Utara, dia baru saja meraih gelar Doktor untuk bidang Hadist.
Beliau pernah bilang, mereka (sesama ulama) sedang mencari cara untuk membina para mubalig yang terlanjur memiliki 2 hal. Pertama: Memiliki daya tarik dalam beretorika atau punya kemampuan tebar pesona, namun kurang ilmu.
Kedua: Merasa dirinya yang paling benar, ustadz lain dianggap salah, ini salah, itu salah, sehingga seakan dia sendiri yang bakal masuk surga.

Pernah juga seorang mubalig yang beken di Bandung, seorang doktor juga, yang rutin mengadakan majelis ilmu di Bandung Utara tiap hari minggu, pernah cerita: Sekitar 20 tahun lalu, saudara sepupu perempuannya “ngomelin” seorang artis (berinisial IK) yang hobby buka-bukaan. Si sepupu perempuan sang mubalig tersebut, yang saat itu belum pakai kerudung, antara lain bilang begini ”kayaknya calon neraka tuh, paha, dada dipamer-pamerin”.
Si calon mubalig tersebut (saat itu belum jadi Da’i seperti sekarang tentu saja karena masih kuliah) menjawab: “jangan gituuuu. Siapa tahu Allah akan memberikan jalan ke arah hidayah.”
Ustadz tersebut lalu cerita bahwa dia baru ketemu lagi dengan sepupunya tersebut belum lama ini, lalu dia bilang begini:”Kamu masih inget nggak bilang apa dulu tentang IK? Bener kan? Alhamdulillah dia sekarang dapat hidayah. Insya Allah kan dia bukan calon neraka seperti yang kamu bilang dulu. Kamu malah nggak ada perubahan, dari dulu gituuu saja ibadahnya”, katanya bernada bercanda. Si ustadz cerita, sepupunya yang belum juga pakai kerudung tersebut langsung cemberut.

Ada sebagian orang suka menyepelekan surga-neraka. Selain orang yang, notabene “mubalig” dengan jabatan yang cukup tinggi di DKM mesjid terkenal, atau statusnya terpandang karena ketua pontren, namun mudah mengkafirkan sesama muslim, mudah mengatakan sesat ke kelompok lain.
Sementara itu banyak orang awam yang menyepelekan pahala-dosa dan surga-neraka dengan cara itung-itungan amal dan dosa. Saya punya teman yang kerjanya ngasih “entertaint” ke pejabat yang sedang berkunjung ke daerah, dia bilang “standarnya ya amplop dan cewek”.
“. . . makanya saya bayar zakatnya saya gedein, biar impaslah”, gitu katanya.

Saya punya tetangga yang pernah nawarin modal kerja, dia sendiri akan buat bengkel. Modal yang ditawarin minimal 1 milyar. Dia bilang itu adalah uang hasil korupsi temannya di pemerintah.
Dia bilang begini:”Model bisnis seperti ini sekarang lagi trend pak Epsi. Jadi uang tersebut akan diatas-namakan nama kita, jadi dia bebas dari KPK. Kita putarkan uang itu minimal 5 tahun atau tergantung situasi. Kalau dia masuk penjara, ya kita kembalikan setelah dia keluar."
Hebatnya dia bilang begini: "Jangan khawatir pak, dana gini sudah dibersihkan kok. Dia sudah ngeluarin buat mesjid dan nyumbang ke panti asuhan."
Masya Allah. Apa dia nggak sadar sudah menyuap Allah?

Nyogok orang saja dosa, ini nyogok ke Allah, dia pikir menyuap Allah dengan menyumbang mesjid dan anak yatim akan “aman” dari dosa? Bukankah malah akan membuat Allah makin murka?

2 Septermber 2011

Minggu, 14 November 2010

Perangkap (3)


Bagian ketiga


1) Potensi diri

Cukup lama saya berpikir apa yang harus saya tulis.

Tulisan bagian kedua dan ketiga ini jaraknya hampir 2 minggu. Bingung bagaimana caranya menyampaikan topik ini. Saya harus menyampaikan bahwa potensi diri adalah hal yang penting, tapi saya tidak punya referensi apapun.

Ok, deh mungkin saya menggunakan pengalaman pribadi, atau tepatnya menggunakan referensi diri sendiri. Sebenarnya tidak nyaman menceritakan tentang potensi diri sendiri. Tapi ini pembicaraan di antara kita saja ya? Bukan untuk konsumsi masal, hmm . . .

Wajah, air muka, rona muka, aura wajah setiap orang itu berbeda-beda. Ada wajah yang bersahabat, wajah suméh/ramah, wajah ceria, enak dipandang, contohnya seperti (saya sebutkan tokoh masyarakat ya, supaya mudah): Farhan (presenter), Aam Amiruddin (mubalig), Tifatul Sembiring (Menkominfo), Jusuf Kalla (mantan Wapres), Andi A.Mallarangeng (Menpora), Bima Arya (pengamat politik yang menjadi kader PAN), Patrialis Akbar (Menkumham), dan sebagainya.

Ada juga tipe wajah “biasa”, wajah normal, tidak mengganggu, tidak mencolok, dan jenis wajah seperti ini yang paling banyak di dunia ini.

Namun ada juga tipe wajah yang dingin, tidak bersahabat, bernuansa “judes”, berkesan angkuh. Contohnya seperti: Fadel Muhammad (Men.Kelautan), Yusril Ihza Mahendra (mantan Mensekneg), dan . . . saya hehehe.

Dengan wajah tidak bersahabat, dingin, bukan wajah “gaul”, tidak tentu tidak mendukung dalam proses yang sedang kita bicarakan ini.

Namun syukurlah, saya berhasil menemukan potensi diri untuk menjadi orang yang “diperhitungkan”.

Potensi diri ini tidak ditemukan dengan mudah, tetapi setelah melalui banyak kejadian, bukti-bukti empiris, dan fakta di lapangan.

Saya memang berwajah pembunuh berdarah dingin, serem, dan sama sekali tidak bersahabat, tetapi saat saya sudah bicara, bercanda, bertutur kata, kok tampaknya mereka sadar bahwa Epsi ternyata pribadi yang “hangat“ juga :-).

Agak narsis. Tetapi sekali lagi, saya tidak tahu cara lain untuk menjelaskan tentang topik potensi diri ini.

Begitulah.

Saya tidak bisa berkenalan dengan cara seperti di film-film romantis atau buku-buku novel asmara. Mencuri pandang, main mata, dengan gadis pujaan. Mereka pasti ketakutan.

Karena saya tahu persis memiliki senjata jenis apa, maka saya harus segara datangi, lalu ajak ngobrol banyak-banyak.

Saya tentu tidak mengetahui potensi diri macam apa yang Anda miliki.

Apa pun potensi Anda. Lakukan eksplorasi dengan itu. Kemudian gunakan untuk menarik gadis atau pria pujaan.

Tapi jangan salah interpretasi. Harta, jabatan, dan kedudukan bukan potensi yang sebenarnya. Itu bukan potensi kita yang sebenarnya. Itu adalah potensi yang menipu.

Inner beauty adalah salah satu contoh potensi. Banyak wanita yang tampak tidak begitu menarik secara fisik. Bahkan jika kita lihat fotonya, nilainya tak sampai 7 koma 5. Namun begitu kita sudah berhadapan dan ngobrol dengannya. Paduan mimik muka saat dia bicara, gerakan bola matanya, bibirnya, perilakunya, dinamika dan intonasi saat dia bicara, dsb. begitu mempesona, sedemikian rupa sehingga kita menyadari itulah anugrah dan “kecantikan” yang diberikan Allah padanya.

Ingat Wati, teman Farmasi 85 yang pernah diceritakan pada bagian pertama?. Saya memang tidak melangkah lebih jauh dengannya, bahkan saya malah sering dia godain tentang Indri, anak Biologi 85. Suatu hari dia tanya: “Kak Epsi, ngeceng anak Bio ya?”. Saya langsung mengiyakan. Wati berkata lagi dengan polosnya: “Hehehe. . . saya sempet ge-er lho sebenarnya”.

Wati anaknya manis walau badannya agak sedikit gemuk, namun yang lebih mempesona adalah cara dia bicara, apalagi suaranya yang merdu seperti kicau burung. Kita bisa betah mendengarkan dia bercerita atau dia tertawa.

Saat itu saya yakin, potensi dirinya itulah yang akan menggaet pangeran berkuda putih yang menjadi suaminya kelak.


2) Pribadi yang menyenangkan

Sekali lagi saya bingung untuk menguraikan kata-kata sakti ini: Jadilah pribadi yang hangat. Jadilah pribadi yang mempesona. Jadilah pribadi yang menyenangkan.

Mungkin kalau baca textbook akan lebih mudah bagaimana cara menjadi pribadi yang menyenangkan itu.

Pribadi yang menyenangkan itu antara lain: tidak mudah terbawa emosi, mentalnya stabil.

Tutur katanya santun. Bisa membawakan diri dengan baik di lingkungan apapun.

Humoris, tapi tidak semua hal dibuat canda dan dagelan sehingga kita tidak tampak menjadi orang pernah serius dan cengengesan.

Bagi ikhwan, kewibawaan dan kedewasaan itu penting. Tak ada akhwat yang merasa cukup aman dan terlindungi jika pasangan hidupnya tidak dewasa dan kurang wibawa di matanya.

Mental yang stabil, bisa berpikir rasional, tidak mudah menyerah, bisa mengatasi problem, adalah aspek yang menunjukkan kedewasaan seseorang.

Jujur, menepati janji, dan komitmen, adalah tonggak kewibawaan.

Kebanyakan perempuan tidak suka dengan laki-laki yang terlalu banyak mengeluh, terlalu banyak ngomel, tidak pernah serius, atau terlalu banyak bicara tentang dirinya.

Kebanyakan perempuan juga tidak terlalu menyukai laki-laki yang tampak tidak berdaya tanpa dirinya secara berlebihan, merengek-rengek cintanya, setiap hari menelponnya berjam-jam, datang tiap pagi dan petang, “mengganggu”nya tanpa henti, seperti tidak ada pekerjaan lain lagi di dunia ini.


3) Aku membutuhkanmu

Ini kalimat yang indah sekali. Kalimat inilah yang akan melahirkan cinta, akan membuat cinta itu abadi, bahkan esensi dan substansi dari kalimat ini akan membuat seseorang bisa bertahan hidup.

Saya katakan esensi dan substansi, karena tidak harus diucapkan secara vulgar, gamblang, dan eksplisit.

Bapak saya sebelum meninggal sudah kepayahan dengan sakitnya. Ashma yang kronis. Dengan ashma yang parah, membuat asupan oksigen ke paru-paru menjadi minim, sehingga membuat bagian bawah kedua paru-parunya mengkerut tidak lagi bisa berfungsi. Keadaan ini membuat jantung kepayahan karena harus bekerja ekstra berat untuk memompa darah ke seluruh tubuh dengan kadar oksigen yang rendah. Fungsi jantung pun terganggu. Kadang detak jantung tidak ritmis.

Sebagian waktu bapak hanya ada di tempat tidur. Tabung oksigen di samping ranjang menjadi teman yang setia. Walau tidak terus menerus, tapi begitu ashma menyerang, maka oksigen kalengan ini memang sangat membantu.

Suatu siang, enam dari tujuh anak-anaknya tidak ada di rumah, karena mereka punya rumah sendiri karena sudah berkeluarga, dan satu orang yang masih bujangan belum pulang kerja.

Saat itu bapak sekitar 72 thn, ibu lebih muda 4 tahun. Sudah bisa dikatakan dua orang manula.

Siang itu hujan lebat, suara petir berulangkali terdengar keras menggelegar, kadang cahaya kilat dan suara gemuruhnya hampir bersamaan, menandakan jarak petir sangat dekat.

Ibu yang semula di ruangan tengah sedang mengisi teka-teki silang, berdiri bergegas lalu masuk kamar, dan duduk di samping tempat tidur bapak.

Bapak memandang bingung tanpa berkata. Ibu juga memandang bapak, lalu tersenyum.

Bapak ketawa. “kowe wedi yo?” (kamu takut ya?).

Ibu ketawa kecut “hehehe iya”.

Inilah yang membuat bapak bisa bertahan hidup lebih lama.

Badan sudah tidak berdaya, tidak bisa dibawa kemana-mana, tidak kuat lagi membantu istrinya membereskan rumah, sudah tidak bisa melindungi lagi istrinya dari bahaya dengan pundaknya yang bidang dan kekar seperti waktu muda dulu. Bapak cuma bisa berbaring dan menjadi beban.

Tapi yang membuatnya bertahan hidup adalah: “Ibu masih butuh aku”.

Saat geledek menyambar begitu dekat, saat suara petir begitu menakutkan. Ibu begitu ketakutan dan merasa aman disamping bapak.

Walau ibu masih kuat ikut arisan RW, ikut pengajian mingguan, pergi belanja ke pasar swalayan, jalan-jalan keliling kompleks, tapi Ibu tetap merasa aman berada di samping bapak.

Saat bapak ada di rumah sakit, ibu di rumah selalu gelisah: “Aku tidak bisa hidup tanpa bapakmu”.

Yang merasa tidak bisa ditinggal justru yang sehat, inilah kekuatan cinta.

Tetapi saat proses penjajakan berhati-hatilah dengan menginterpretasikan “aku membutuhkanmu” terutama untuk ikhwan.

Jika seorang ikhwan curhat ke teman wanitanya segala problem yang dihadapi, urusan sekolah, urusan rumah, kakaknya yang egois, adiknya yang tidak bisa dikasih tahu, urusan kantor, bossnya yang main perintah seenaknya, dan sebagainya. Hati-hati! Ini hanya akan memberikan kesan gratis ke calon istrimu itu bahwa Anda orang yang lemah, kurang gigih, tidak tegar, letoy.

Jika gadismu sudah berpikiran ”cowok gua payah banget, banci, cengeng”, atau dia bilang ke temennya: “Pusing nih, gue kok kayak jadi guru BP” (maksudnya Bimbingan dan Penyuluhan yang ada di sekolah untuk mengatasi murid bermasalah).

Wah, gawat, berarti dia sudah ragu apakah Anda pantas menjadi pemimpinnya kelak.

Di suatu malam minggu. Saya melintas jalan Tubagus Ismail dari arah Sukaluyu menuju Jln.Kidang Pananjung di sekitar simpang dago, tempat rumah kost gadis pujaan.

Tiba-tiba mobil yang saya gunakan bermasalah, mesin tersendat, kelihatannya masalah karburasi. Saya membawanya ke tepi. Saya coba memperbaiki sekedarnya, tapi gagal.

Ini setengah perjalanan. Tiga kilo ke rumah, tiga kilo ke gadis pujaan.

Saat itu tahun 1989, belum ada telepon seluler. Jadi tidak bisa melakukan kontak apapun.

Seharusnya saya pulang, minta bala-bantuan, beserta membawa peralatan lampu senter, perkakas, dsb.

Tetapi itu tidak saya lakukan. Mobil saya kunci. Dan karena jalur ini belum ada angkotan kota, maka saya berjalan kaki menuju Kidang Pananjung sejauh 3 kilometer.

Begitu sampai di sana. Sebelum saya ketuk pintu. Saya menghela nafas dulu. Saya merasa tidak layak bertemu kekasihku, karena badan gerah dan panas, walau jam menunjukkan jam setengah sembilan malam, tapi keringat bercucuran dan membasahi punggung, badan pun bau keringat.

Tapi saya merasa yakin saya berada pada jalur dan langkah yang tepat.

Sayup-sayup saya mendengar gadisku bernyanyi diiringi denting gitar. Yang surprise, lagu yang dinyanyikan adalah “Kisah Sedih di hari Minggu”nya Koes Plus.

Saya ge-er, tampaknya dia menghibur diri karena saya tidak terlihat batang hidungnya padahal waktu sudah menunjukkan jam setengah sembilan.

Saya mengetuk pintu agak keras supaya suaranya tidak tenggelam dengan bunyi gitarnya.

Pintu dibuka oleh Benny, kakaknya yang kuliah di UNPAD. “Oh Epsi, masuk si!”.

Saya masuk dengan masih terengah-engah.

Calon istri saya itu (maunya begitu), tampak kaget.

Kata-kata yang pertama dia ucapkan adalah: “Kok malem banget”.

Saya menjelaskan duduk persoalan. Lalu komentar rasionalnya keluar (atau basa-basi ya): “Aduh, apa aman tuh mobil ditinggal malem gini, kenapa gak nyari montir”.

Saat itu saya ingin ketawa, mana ada montir jam segini. Tapi ada yang lebih penting yang harus saya ucapkan:

“Iya sih, cuma ntar saya nggak ketemu kamu. Daripada saya nggak bisa tidur”. Saya mengucapkan dengan tampang serius.

Agak terdengar gombal ya? tapi ini menjadi tonggak yang signifikan dari hubungan kami berdua.

Ini adalah ekspresi “aku membutuhkanmu”.

Seorang ikhwan bisa saja meminta pendapat atau masukan kepada teman akhwatnya, tapi harus jauh dari kesan bodoh, lemah, atau cengeng.

Dia harus cerita dengan biasa, tetap rasional, jauh dari kesan sedang ngomel. Lalu bertanyalah dengan arif: “Kalo kamu jadi saya, baiknya gimana ya?”.

Apapun komentar temanmu itu dengarkan dengan penuh perhatian. Karena ego laki-laki kadang sulit disembunyikan. Alih-alih minta masukan, tapi begitu akhwat pujaan sudah beri saran, Anda menyepelekan atau kurang menghargainya tanpa sadar: “Itu sudah terpikir oleh saya sih, cuma kayaknya bukan ide yang baik”.

Jika masukannya didengar dengan seksama, diberi komentar ringan yang menyenangkan, dan berterimakasih atas masukkannya itu, sang gadis akan senang atas usaha bantuannya. Itu sudah cukup untuk memberi kesan: Aku dibutuhkannya.


4) Murahan versus Jual Mahal

Substansi “aku membutuhkanmu” juga ada bahaya yang sangat besar pada ranah implementasi bagi akhwat.

Kalau para ikhwan memang lebih merdeka, mereka bisa bersikap atau berkata segombal-gombalnya.

Tapi untuk para akhwat tidak bisa.

Kalau kualitas hubungan sudah dekat, yaitu sudah ke tingkat komunikasi antar hati, dimana banyak hal bisa disampaikan lewat raut muka, gerak-gerik wajah, atau bahasa tubuh, serta mereka sudah selangkah lagi ke pernikahan, maka ucapan verbal: “Mas, saya kangen”, itu sah-sah saja.

Tetapi jika belum, maka berhati-hatilah.

Menjadi akhwat itu lebih sulit. Jika terlalu terbuka dan berterus terang akan terkesan perempuan gampangan dan cewek murahan. Tetapi jika terlalu ketat dan ja-im, maka terkesan jual mahal, malah sulit cowok yang mau mendekat.

Lalu bagaimana?

Seorang akhwat harus pinter-pinter berada di antara itu. Harus cerdas melakukan tarik-ulur, kalau terlalu jauh, tarik perlahan, jika terlalu dekat, ulur.

Jangan biarkan seorang cowok merasa mudah mendapatkanmu, tapi berikan perhatian yang cukup sehingga membuatnya tetap berharap dan porsi “ge-er”nya cukup memberinya energi untuk terus berjuang mendapatkanmu.

Ulfa, seorang teman yang aktif di suatu unit kegiatan ekstra-kurikuler, dia jadi kecengan seseorang, dimana teman saya itu sebenarnya berharap juga. Rinaldi, nama cowok tersebut, mentalnya tampak belum cukup kuat. Ia belum terlalu akrab dengan Ulfa, tapi sudah ujug-ujug ngajak makan bareng, tentu Ulfa menolak dengan suatu alasan.

Mungkin malu, Rinaldi langsung lenyap dari muka bumi. Maksudnya hilang dari segala kegiatan unit tersebut.

Suatu saat Ulfa bertemu Rinadi di kantin Salman, mereka saling sapa, dan Ulfa menarik “tali layang-layang”nya: “Kang, kok sudah lama sekali gak kelihatan di unit?” (padahal baru 2 minggu).

Ini tarikan sedikit tapi cukup memberikan semangat baru pada Rinaldi.

[BERSAMBUNG]


Jumat, 12 November 2010

Perangkap (2)

Bagian kedua


1) Problem ke-1

Mungkin cerita di atas tampak seru. Tapi ada problem utama yang menghadang, yaitu faktor N.

N itu adalah Niat dan Nyali.

Jika kita tidak mau dan tidak bisa mengatasi faktor ini, maka tulisan dan uraian berikut tidak ada gunanya. Sia-sia.

Jika belum punya, nyali perlu di tumbuhkan. Jangan mengira saya melakukannya karena pengalaman, atau Anda menduga saya seorang playboy, wah nggak deh.

Pengalaman saya NOL besar.

Yang menjadi “energi” saya mau melakukannya adalah prinsip bahwa: Jika kita tidak melakukan apapun, maka kita tidak akan dapat apa-apa. Jika kita tidak berusaha maka sudah dipastikan gagal.

Agak berbau filosofis, tapi begitulah.

Ada teman satu jurusan dan satu angkatan. Orangnya kecil, pendiam, tapi nyalinya kelewat besar, namanya Dicky.

Suatu hari di Aula Barat. Kami sedang duduk bertiga, saya, Dicky, dan Kuswara (teman saya yang berkenalan bersama Wati dan Herlin).

Ada beberapa cewek jurusan Kimia datang, celingak-celinguk mencari tempat kosong, dan mereka menghampiri meja kami karena memang masih ada sekitar 8 kursi tanpa penghuni.

Dicky panik dan berbisik pada saya dan Kuswara, “Aduh, ini Lisa, kecengan saya”.

Saya tertawa, “sudah kenal belum?”.

Dicky tertawa, “belum, sekarang saja gitu?”.

“Ya sok atuh, untung deket gini”, saya memanasi.

Dicky berpikir sebentar, lalu menggeser kursinya mendekati Lisa.

“Eh, kamu Lisa ya? kenalan dong, saya Dicky. Kamu cantik sekali, saya suka sama kamu. Kamu mau sama saya nggak?”.

Mati aku!, saya kaget setengah mati. Ini bunuh diri!.

Saya lihat Lisa dan temannya melongo, mulutnya terbuka, saling berpandangan, lalu mereka akhirnya tertawa.

Kuswara menendang kaki saya, lalu ia memberi isyarat untuk kabur.

Saya dan Kuswara bergegas mengemasi buku-buku lalu memasukkan ke ransel, lalu buru-buru minggat.

“Gawat si Dicky, kita yang malu”, Kuswara ngomel.

Kami berdua berjalan setengah berlari menuju pintu keluar sambil geleng-geleng kepala, “Ia betul Kus, ntar dikira kita sama gilanya”.

Itu kejadian 25 tahun yang lalu, yang sudah pasti istri Dicky saat ini bukan Lisa, dan sampai sekarang saya tidak tahu apa yang terjadi di Aula Barat saat kami kabur. Apakah Dicky ditampar Lisa atau cuma ditertawakan mereka.

Dicky punya nyali, tapi kebablasan, terlalu nekat dan tanpa perhitungan, atau tepatnya kurang taktis.

Tidak patut dicontoh.


2) Problem ke-2

Media atau Mediator!. Itulah problem kedua.

Mahasiswa yang menyukai teman satu jurusan satu angkatan, tidak mempunyai jenis problem ini. Pertemuan mereka bahkan sudah dijadwalkan oleh bagian roster akademik, jam sekian di ruang mana. Mereka bisa memanfatkan banyak peluang setiap hari untuk berinteraksi satu sama lain.

Tapi mahasiswa yang menyukai mahasiswi beda jurusan, apalagi beda angkatan jauh di bawah, dan mereka berbeda unit kegiatan/ekstra-kurikuler, nah ini baru seru.

Pria yang sudah diwisuda tapi masih membujang, mereka biasanya bingung: “Dimanakah akan kucari bidadariku . . .”.

Atau wanita yang sudah lulus sekolah tapi masih jomblo, mereka akan bersenandung sedih dengan suara fals: “Dimanakah akan kudapatkan pangeranku . . .”

Laki-laki dan perempuan single yang sudah bekerja sama resahnya.

Dunia nyata yang disebut “kantor” sudah demikian formal. Pencarian pasangan terkendala dengan suasana kerja, jam kerja yang padat, serta hubungan kedinasan yang menyulitkan.

Dalam dunia kerja, pria ganteng biasanya sudah punya pasangan, wanita cantik sudah tunangan, lelaki keren sudah menikah, perempuan menawan sudah bersuami.

Problem mediator sangat erat kaitannya dengan Kreatifitas.

Kakak tertua saya, perempuan, sudah masuk ITB saat saya masih kelas 1 SMP. Dia aktif di unit kegiatan ekstra-kurikuler kesenian Jawa, memang dia hobbynya menari.

Tiba-tiba suatu saat dia mendaftar juga ke unit kegiatan Marching-Band. Ternyata itu dia lakukan karena disana ada cowok ganteng, orangnya tinggi, gagah. Cowok ini pernah datang beberapa kali ke rumah. Tapi cowok ganteng ini terlalu flamboyan, baru markir motor wangi parfumnya sudah tercium sampai dapur, tampak gagah tapi kurang macho.

Tidak sampai 6 bulan, mereka putus. Kakak saya keluar dari Marching Band dan pindah ke unit Pramuka. Disinilah dia menemukan calon suaminya.

Kakak saya itu, walau perempuan, tapi dia kreatif.

Media itu banyak: organisasi sosial, unit kegiatan, grup olah raga, kelompok hobbies, komunitas kesenian, keagamaan (mesjid, majelis ta’lim), dan sebagainya. Facebook mungkin saja itu termasuk media, walau agak berbahaya karena kita bisa menemukan penipu juga disana.

Apakah pembinaan relationship mustahil tanpa mediator?

Tidak juga, kita tetap bisa membangun dan menyusun kubus-kubus pertemanan sampai terbentuk bangunan piramida yang kokoh tanpa media klasik, tapi kita dituntut lebih kreatif, jauh lebih kreatif!. Sehingga kita tidak terjebak dalam kerutinan yang menjemukan.

Bayangkan, Anda berhasil melalui proses perkenalan yang spektakuler, Anda bisa mengatasi demam panggung, mendobrak ketakutan, menyusun kekuatan untuk bernyali, dan Anda berhasil menarik perhatian gadis pujaan, lalu?.

Anda mendatanginya pada hari tertentu, sebut saja tiap malam minggu.

Sejak sore ritual dimulai, mandi lebih awal, pilih baju yang mau dipakai, sholat magrib terburu-buru, mendatangi rumahnya, lalu duduk mengobrol, dengan topik yang akhirnya itu-itu juga. Pulang jam 9 malam, menembus kemacetan khas malam minggu. Apakah ini tidak membosankan?

Bagi yang berada dalam suatu media, tentu akan lebih dinamis karena media mempunyai kegiatan yang bisa dilakukan bersama. Jadi jika kita tidak mempunyai media klasik, maka tuntutan akan kreatifitas lebih besar sehingga tidak hanya berada di seputar ritual malam minggu yang menjemukan.

Joko teman saya di resimen mahasiswa, dan teman perempuannya (saya lupa namanya), keduanya senang membaca, dan mereka sering diskusi berbagai buku. Saya pernah makan di kantin dengan mereka, terus terang saya tidak tertarik dengan obrolan mereka, tapi mereka berdua asyik banget, ya tentu itu dunia mereka. Mereka menciptakan mediator untuk interaksi saling mengenal satu sama lain.

Lain Joko, lain dengan Rudi, kawan saya di ITB juga. Ia berhasil berteman dengan mahasiswi dari UNPAD. Rudi senang memotret, Vina temannya senang mengumpulkan kliping.

Rudi tidak memanej koleksi fotonya dengan baik. Rudi terus memotret, dan Vina sibuk menghimpun koleksi fotonya dalam album, menyusunnya, mencatat tanggal pemotretan, menambahkan stiker atau hiasan kecil, dan memberi komentar-komentar lucu pada album tersebut.

Yang luar biasa dari pasangan ini: Kesibukan ini berlangsung 2 tahun!. Menarik sekali, impresif dan sangat inspiratif.

Selama 2 tahun Rudi dan Vina saling menjajagi perasaan masing-masing, interaksi ini membuahkan hasil, mereka bisa saling mengenal dan memahami.

Inilah yang disebut media non-klasik, yaitu media yang diciptakan sendiri.

Jika Anda saat ini berada pada situasi sulit. Tidak ada media klasik apapun, sementara media non-klasik sulit diciptakan, maka yang Anda lakukan adalah: rebut perhatiannya dengan perjumpaan yang penuh dinamika.


3) Menarik perhatiannya?

Ya!. Tapi bagaimana caranya?

Jangan menggunakan ilmu pembeli tapi gunakan ilmu pedagang. Lho? Teknik buat siapa ini? Cewek atau cowok? Ya dua-duanya. Keduanya harus menggunakan ilmu pedagang.

Pembeli yang tahu ilmu negosiasi akan menyembunyikan ketertarikannya pada barang yang diminatinya. Coba saja, ketika Anda sedang memilih-milih barang lalu menemukan barang yang bagus, kemudian Anda bilang ke teman yang mendampingi Anda belanja: “Ini bagus ya?”, atau “Yang ini aja deh, bagus banget warna dan motifnya”, dan jika penjual mengamati Anda saat itu, dijamin Anda sulit untuk menawar barang tersebut!.

Kondisi ini sama saja jika kita sendirian tapi kita menunjukkan secara eksplisit dengan kalimat verbal maupun sikap dan tingkah laku kita menunjukkan kita demen banget dengan itu barang, ya sama saja, penjual akan jual mahal dalam menurunkan harga.

Sedangkan ilmu pedagang (penjual), berbeda. Mereka akan mengeksploitasi kemampuannya, dan menunjukkan keunggulan barang dagangannya.

Jadi, ikhwan atau akhwat harus bersiasat: “Apa yang harus saya lakukan agar saya yang bodoh ini menarik perhatiannya?”.

[BERSAMBUNG]


Kamis, 11 November 2010

Perangkap (1)

Perangkap itu sesuatu yang tidak menyenangkan.

Siapa sih yang mau masuk perangkap?. Baik perangkap yang sesungguhnya, seperti perangkap untuk menangkap tikus, perangkap burung, atau lubang perangkap dengan kayu-kayu tajam pembunuh dalam peperangan, maupun perangkap dengan arti kiasan.

Dalam acara debat, orang yang pandai berargumentasi biasanya pandai menyerang lawan bicaranya sehingga lawan debatnya itu terperangkap dengan kata-katanya sendiri dan terbawa dalam kendali pembicaraan orang yang lihai berdiplomasi tersebut.

Seorang pemuda yang menyukai seorang gadis, kadang memasang perangkap, perangkap cinta. Dan ini berbeda dengan perangkap tikus atau perangkap dengan kayu tajam pembunuh. Ini adalah perangkap yang mungkin didambakan. Si gadis bisa saja dengan senang hati dan sukarela menyebloskan dirinya masuk lubang perangkap ini.

Bisa juga si gadis tidak sadar dirinya masuk perangkap, semula rasanya biasa-biasa saja, namun lambat laun dia terkurung, dan dia kaget kok tiba-tiba dia gelisah jika tidak bertemu, makan tak enak, tidur tak nyenyak, dan rindu dendam kepada pemuda tersebut. Naaah, jika ini yang terjadi maka inilah perangkap laki-laki yang "sesungguhnya".

Tadi disebutkan: seorang pemuda “kadang memasang perangkap”. Apakah tidak selamanya perlu?

Ya memang banyak faktor, apakah diperlukan perangkap atau tidak.

Seorang pemuda ganteng, cool, keren, wajah artis, rambut versi terakhir, pakaian modis, walau sebenarnya sedikit bodoh tapi dia kaya. Pokoknya jenis pemuda yang sudah kena "kutuk", yaitu kutukan jadi orang kaya 7 turunan.
Nah jenis pemuda seperti ini tak perlu susah-susah bikin perangkap. Karena para gadis seperti semut ngrumunin gula.

Si pemuda tadi hanya perlu main mata sedikit saja, maka sudah bisa membuat gadis yang dilirik tadi klepek-klepek, lututnya lemas, nabrak pintu, dan malamnya gak bisa tidur.

Namun sayangnya pemuda seperti ini (ganteng, keren, kaya, tapi rada dungu), biasanya tipikal, cintanya selayang pandang, bosenan, hanya untuk kesenangan.

Seorang laki-laki dengan pekerjaan mapan, bisnisnya maju, rumah di daerah “beverly hills”, harga mobilnya gak bisa dihitung dengan kalkulator tukang sayur yang dijitnya terbatas, walau tampangnya biasa saja, jauh dari wajah Leonardo DiCaprio, Pierce Brosnan, atau Kevin Costner, kalau perlu pasangan, perlu istri, tidak perlu dan tidak punya waktu untuk buat perangkap yang sulit-sulit. Ia cukup menyapanya, mengajak dinner, itu sudah cukup membuat para gadis lupa akan usianya terpaut setengah abad dengannya, cukup membuat janda muda berbunga-bunga, serasa terbang melayang ke langit, walau mungkin tidak seratus persen mencintainya, yang penting hidupnya terjamin, dan bisa belanja ke tempat-tempat mahal.

Seorang pria anak pejabat tinggi, perusahaannya menggurita walau hasil ka-ka-en, mobilnya tak terhitung, rumahnya banyak sampai anaknya yang belum lahirpun sudah dia belikan, punya gudang uang seperi Paman Gober, bersinpun keluarnya dollar bukan ingus (maaf).

Pria jenis ini pun tak memerlukan perangkap untuk menggaet wanita yang disukainya. Dia cuma lihat bintang iklan yang seksi di TV, dan dia cukup minta sekretarisnya menelponnya untuk mengajaknya kencan dengan bossnya. Tak diperlukan usaha apapun yang cukup “macho”, untuk mengajak para gadis atau perempuan menjadi teman kencannya atau istrinya, bahkan hanya sekedar mengajak tidur bareng (sekali lagi maaf). Walau ada konflik moralitas, tapi anehnya tetap banyak wanita yang ngantri menjadi pasangannya.

Ok, kita singkirkan ketiga jenis pemuda/laki-laki/pria jenis ini dalam pembicaraan tentang perangkap. Ini bukan konteks pembicaraan kita.


Bagian pertama


1) Membuka kontak

Seorang pria tidak bisa hanya berdoa di mesjid minta lancar jodoh tanpa usaha apapun.

Seorang perempuan yang lonceng umur kepala tiganya sudah berdentang keras tidak mungkin setelah berdoa dan menangis, tiba-tiba ... gubrak! seorang suami ganteng, kaya, dan soleh jatuh dari langit menembus atap kamarnya dan jatuh tepat di hadapannya dan sembari masih pusing dia menyapa “halo sayang, aku cinta padamu”. Dan kalau ini terjadi pun, kisah tidak akan berlanjut karena si calon istri keburu stroke saking kagetnya.

Di ITB, sudah menjadi rahasia umum. Mahasiswa tingkat pertama akan menjadi objek perburuan para serigala. Prinsipnya sederhana, barang bagus di toko tidak akan bertahan lama. Anak ayam yang dagingnya yummy akan cepat disambar elang.

Jika menemukan wanita cantik rupawan angkatan tahun ke-2, jangan terlalu berharap karena mungkin sudah ada pemiliknya. Dan jangan coba-coba mendekati bidadari yang aduhai angkatan tahun ke-3 atau 4, karena begitu anda melangkah mendekat, akan ada pemuda dengan clurit ditangan dan berteriak “step over my dead body!”.

Karena ITB mayoritasnya adalah laki-laki, maka perburuan pada mahasiswa tingkat pertama menjadi seru, persaingan menjadi sangat ketat. Gadis primadona tak melebihi banyaknya jari tangan. Siapa cepat dapat, who dares wins!, kesempatan baik tidak datang dua kali.

Aula Barat ITB, sebuah bangunan kuno dengan arsitektur unik yang berada di zona konservasi ini dulu pernah difungsikan sebagai ruang baca mahasiswa. Gedung ini bisa menampung 200 orang. Puluhan meja yang muat 10-15 orang tersebar di seluruh ruangan.

Jika selang kuliah yang satu dengan berikutnya nanggung, misalnya satu-dua jam, maka para mahasiswa akan berkumpul disini. Ada yang belajar, mengerjakan tugas bersama, ngobrol, atau . . . . mata jelalatan. Dan kalau pekerjaan ini yang sedang kami lakukan maka kami berbagi informasi. Susi ada di meja sekian, Heni ada di posisi jam 10, Erna ada di arah jam 2.

Pada suatu hari di tahun 1985, kami mengobrol di meja yang cukup strategis.
Kuswara kawan saya satu kelas, Fisika Teknik 82, memberi kode: “meja kedua arah jam satu”.
Saya menengok ke kiri arah jam satu dari Kuswara. Tampak 2 orang anak Farmasi 85 sedang ngobrol, di atas meja ada berkas dan kertas-kertas, kotak pulpen, tip-ex, satu botol plastik air mineral, dan sebagainya.
Mereka adalah Wati dan Herlin, anak angkatan baru, dan sudah tercatat dalam database kami. Semua data sudah lengkap, hanya satu yang belum: Berkenalan!.

Saya memberi kode kepada Kuswara.

“Mau ngapain Eps?, sekarang? . . . Gila kamu!”.

Saya berdiri, Kuswara mengikuti. Kami menghampiri meja dua anak Farmasi tersebut.

“Boleh pinjem tip-ex-nya?”, saya bertanya. Kedua gadis ini terpana.

“Eh minta ding, bukan minjem, dikit aja”, saya mengkoreksi.

Kedua gadis saling berpandangan, lalu salah satu mengambil tip-ex yang tergeletak lalu menyodorkannya ke saya.

“Makasih ya”, saya mundur dan duduk di meja di seberang mejanya. Merogoh ransel, mengambil makalah tugas yang sudah kadaluarsa karena sudah ada nilainya, berpura-pura menyapunya dengan tip-ex sedikit di sembarang tempat. Berdiri lalu menghampiri kembali pemilik tip-ex.

“Makasih lagi ya”, saya meletakkan tip-ex di meja.

Satu gadis yang berkerudung putih mengangguk dan tersenyum sedikit, yang satu lagi tersenyum manis, sampai gigi depannya terlihat: “iya…”, jawabnya pendek.

“Jurusan apa?”.

Mereka saling berpandangan mungkin tidak menyangka saya menyambar dengan pertanyaan itu. Lalu yang tersenyum manis tadi menjawab “Farmasi”.

Iya tentu saja Farmasi, saya dan Kuswara sudah tahu itu.

Saya mengulurkan tangan: “saya Epsi”.

Dia terdiam sebentar, tampak mata lugunya menjadi bulat, ia mengulurkan tangan “Wati”.

Yang kerudung namanya Herlin, asal dari Panjalu-Ciamis, sedangkan Wati dari Kuningan, anak tunggal.

Inilah kontak pertama.

Dua bulan sejak itu kami sudah berteman, saya beberapa kali datang ke tempat kostnya Wati. Bahkan Wati dan Herlin sudah berani memberikan saya pekerjaan. Mereka pernah minta tolong menerjemahkan 2 halaman jurnal tentang kesehatan karena mereka harus segera mengumpulkannya.

Wati adalah kandidat. Berteman adalah langkah awal.


2) Gaya perkenalan

Ternyata ada banyak Herlin di muka bumi.

Saya berkenalan dengan Herlin lain, kali ini jurusan Biologi. Tetapi bukan Herlin yang menjadi kandidat.

Indri, temannyalah yang menjadi sasaran utama.

Indri merupakan kembang kampus. Terlalu banyak serigala yang mendatanginya untuk berkenalan, mungkin dia bosan, dan jenuh. Setiap duduk untuk belajar di Aula Barat, ada saja yang mendatanginya, mengajak kenalan, tanya jurusan, tanya alamat, berlagak sok tahu dengan kasih saran macam-macam tentang pelajaran.

Saya berniat memberi “sentuhan” lain, . . . dan berhasil.

Saya sudah bertegur sapa dengan Herlin. Mungkin dia ge-er, tetapi tidak apa, biarkan saja, pada saatnya nanti dia akan tahu, kepada siapa saya akan berteman lebih dekat.

Memang Indri dan Herlin hampir selalu bersama. Ke kantin, ke Aula Barat, ke Mesjid Salman, bahkan duduk dalam ruang kuliah mereka sering bersebelahan.
Suatu hari keduanya tampak sedang melihat foto-foto di lorong sekitar unit Liga Film Mahasiswa (LFM). Unit kegiatan ini domain kegiatannya adalah berkisar sinematografi dan fotografi.

Keduanya asyik menyusuri foto demi foto yang terpasang di rak dinding kaca sepanjang lorong itu.

Saya menghampirinya, dan menegurnya: “Halo lin!, habis kuliah?”.

Herlin membalikkan badan, “Oh mas Epsi, iya habis kuliah”.

“Masih ada kuliah lagi?”.

Satu dua pertanyaan, lalu tiga empat saya lontarkan pertanyaan basa-basi, sambil menunggu saatnya tiba.

Apa? Tentu saja saya diperkenalkan dengan Indri.

Dan itu memang terjadi. Hehehe . . .

***

Dahulu beberapa bangunan tua di blok jalan Ganesha – Gelap Nyawang – Tamansari merupakan Asrama mahasiswa. Salah satu asrama yaitu Asrama F yang di terletak di sisi jalan Ganesha terdapat kantin, namanya Kantin F, dan ini merupakan tempat makan alternatif selain yang ada di dalam kampus dan kantin Salman.

Suatu siang, saya sedang makan, isi piring baru loading setengahnya.

Ada 2 mahasiswa jurusan Teknik Industri angkatan baru masuk. Salah satunya memang bunga diantara bunga yang ada.

Saya mengawasinya. Tampak mereka tidak makan nasi, mereka hanya membeli beberapa jenis kue ringan jajan pasar, dan segelas jus buah. Saya menghentikan makan, berpikir.
Yang teringat cuma satu: “kesempatan tidak akan datang dua kali”.

Mereka mengambil duduk di meja yang agak jauh dari meja saya, dan seperti kebanyakan cewek, mereka duduk berdampingan, ngobrol perlahan, di depannya dibiarkannya kosong.

Saya mengangkat piring nasi, gelas minuman, dan ransel kuliah.

Tanpa rasa malu dan risih, saya meletakkan piring dan gelas di depan mereka, meletakkan ransel di kursi, lalu duduk, dan langsung tembak “Firda ya?”.

Dua gadis yang masih terpana dengan laki-laki kurang ajar yang nyelonong tanpa ijin, padahal kiri kanan meja masih luas, makin terkesima dengan pertanyaan model tembak langsung seperti itu.

Saya kadang tidak berpikir panjang, lebih sering berdasarkan intuisi dan feeling. Mereka berdua pasti akan merespon apapun yang saya tanyakan. Rasanya kemungkinan kecil jika mereka langsung pergi atas tindakan saya. Apalagi mengguyur saya dengan jus buah terlebih dahulu. Keyakinan akan adat timur yang membuat orang cenderung bersikap sopan dan permisif. Itu lah keyakinan saya.

Gadis dengan mata indah dan senyumnya menawan yang disebut Firda itu mengiyakan, tapi ia tampak orang yang tidak mudah ditaklukkan, ia cepat bisa ambil kendali, lalu dia melontarkan pertanyaan pertanggung-jawaban: “Kamu tau dari mana saya Firda”.

Saya tidak perlu membahas bagaimana kelanjutan obrolan tersebut disini, yang penting, inilah satu dari sekian gaya perkenalan!. Gaya preman!.

Pertanyaan Anda mungkin adalah: lalu siapa yang akhirnya jadi istri saya? Wati, Indri, atau Firda?

Sementara simpan dulu pertanyaan itu, karena kita hanya fokus pada “cara”, bukan hasil akhir.

Setuju?

[BERSAMBUNG]


Rabu, 03 November 2010

Titipan


"Pak, masih punya adik yang masih single gak. Kenalin doong..".

Itu adalah ucapan salah satu murid Ahmad, dan ini sering sekali dia ucapkan pada berbagai kesempatan.
Ahmad sendiri hanya selalu tersenyum.
Dewi, muridnya yang berkulit putih itu memang tampaknya tidak bisa menyembunyikan perasaannya.
Setiap Ahmad mengajar, Dewi tidak pernah lepas menatap gurunya itu.
Ahmad kadang melontarkan pertanyaan di kelas. Pada suatu kesempatan dia minta Dewi menjawabnya, dan ia kelabakan seraya bertanya balik "Pertanyaannya tadi apa pak?".
Dewi tahu Ahmad sudah menikah, karena itu pula dia rajin bertanya di luar kelas: Apakah pak Ahmad punya adik-lah, apakah adiknya mukanya mirip dengan pak Ahmad-lah, apakah pak Ahmad punya saudara kembar-lah, dsb.

Tuti. Murid Ahmad di angkatan yang lain, yang selalu pakai celak mata, tidak bertanya apakah Ahmad punya saudara kembar, tapi dia malah nekat mengirim salam, berdalih pinjem kamera, pinjem buku ini-itu, dsb.
Ami. Murid Ahmad pada generasi lainnya. Wajahnya cantik, matanya bundar menari-nari, bicaranya rame.
Sering bertanya saat praktek di laboratorium. Segala pertanyaan dia lontarkan, membuat Ahmad sering menghampiri meja komputernya. Juga Ami sering menyengaja datang ke sekretariat, cari pak Ahmad. Ngapain? ya bertanya dan bertanya, dan Ami memang inspiratif, tak pernah kehilangan ide dan bahan obrolan. Dia malah pernah datang ke rumah Ahmad, membawa hardisk yang katanya rusak. Hmm...

Murid datang dan pergi. Berbagai Dewi, berbagai jenis Tuti dan bermacam tipe Ami datang dan pergi.
Ahmad bersikap biasa saja.
Karena jika Ahmad bersikap lebih dari itu, mungkin malah kehormatannyalah yang menjadi bayarannya. Jika Ahmad sedikit saja melempar kata-kata yang bernuansa rayuan, mungkin mereka akan berbalik membencinya. Karena mereka menjadi tahu manusia macam apa Ahmad itu.
Sebaliknya, jika Ahmad menjauhi, bersikap berlebihan, menegurnya supaya tidak menggodanya, mungkin mereka ngomel: dasar ge-er-lah, sok gantenglah, sok berwibawa-lah.
Ahmad tahu harus bersikap bagaimana. Ibarat memegang telor, tenaganya harus pas, jika terlalu kuat akan pecah, jika terlalu lemah, jatuh.

Hal seperti ini bagi Ahmad mungkin lebih mudah. Karena fitrahnya laki-laki itu tidak terlalu terganggu dengan hal-hal semacam ini.
Berbeda jika hal ini dialami oleh perempuan yang sudah bersuami, mungkin mereka akan terganggu secara psikis, tidak nyaman, bahkan kesal.
Mereka harus lebih waspada dalam bersikap. Mereka harus lebih giat mempertahankan pagar-pagar yang membentengi dirinya. Mereka harus cukup arif bagaimana merespon segala bentuk "serangan" berupa rayuan gombal, ajakan, celotehan, atau berbagai dalih obrolan, baik secara langsung, telepon, surat, SMS, atau email.

Tidak akan ada perempuan yang cukup berhasil kecuali dia cukup kuat.
Kuat hatinya, dan kuat landasannya.
Dan tidak ada landasan yang cukup kokoh kecuali...iman.

Di antara aspek iman itu adalah menyadari bahwa semua yang kita miliki itu adalah titipan.
Allah memberikan kita tubuh yang sehat. Ini titipan.
Banyak dari saudara kita, teman kita, tetangga kita, yang masih rajin mengepulkan asap dari mulutnya, padahal mereka tahu itu meracuni paru dan darahnya, merusak organ tubuhnya. Mereka meracuni orang-orang disekelilinginya, bahkan meracuni anak dan istrinya. Boleh dipertimbangkan, merokok itu bentuk perbuatan yang tidak amanah.
Seperti kita dipinjami sepeda bagus, dan kita merusaknya secara sengaja dengan dalih kesenangan semata.

Wajah rupawan seorang akhwat, atau mungkin perilaku yang menyenangkan dari seorang ikhwan, itu juga suatu titipan.
Jika mereka menutup diri dengan dalih menjaga keimanan dan amanah, itu bisa saja dilakukan.
Namun jika amanah yang diberikan Allah digunakan untuk berkarya dan berikhtiar?
Jika amanah yang diberikan Allah menjadi media yang membuat kita makin mensyukuri nikmatNya?, makin menambah kecintaanNya?
Bisakah?...

Senin, 01 November 2010

Saeful (2)

Tidak selalu saya dan Ikhsan jumatan bareng seperti saat itu. Kadang anak saya jumatan di sekolahnya, kadang saya di Salman, namun saya lebih sering jumatan di Mesjid Ad Da’wah, mesjidnya Pak Miftah Farid yang ada di Jalan Sidomukti Sukaluyu. Saya memang sering menyempatkan mampir ke Sukaluyu, tempat ibu saya yang sudah berusia 78 tahun, jadi sambil soan, sekalian jumatan.

Tak terasa dua bulan berlalu. Hari ini hari Jumat. Saya menjemput Sari, adik Ikhsan yang SD-nya tak jauh dari Istiqomah. Saya semula berencana jumatan di Ad Da’wah, namun tampaknya tak memungkinkan, karena jalanan sekitar sekolah macetnya luar-biasa. Mencari parkir sama sulitnya dengan mengeluarkannya dari kerumunan mobil para penjemput yang malang melintang dan berantakan nggak karuan.

Antrian kendaraan-kendaraan merambat perlahan, bahkan lebih sering berhenti. Saya beberapakali melihat arloji. Begitu berhasil mencapai perempatan Jalan Riau–Citarum dengan susah payah, waktu sudah menunjukkan pukul 11.45. Ini waktu yang tidak layak untuk mencapai Ad Da’wah tanpa terlambat. Solusinya sudah jelas, saya harus jumatan di Mesjid Istiqomah yang jaraknya hanya 200 meter dari perempatan ini.

Saya mencari sisa-sisa lahan parkir yang masih kosong di sekitar mesjid.

Memarkirnya, dan bergegas masuk pelataran, lalu antri lagi untuk ambil air wudhu. Datang jumatan ke mesjid pada jam yang mepet seperti ini segalanya tidak nyaman. Parkir susah, penitipan sepatu/sandal sudah penuh, sudahlah ngantri untuk wudhu, air krannya pun kecil banget, belum lagi nyari tempat yang masih kosong di lantai utama mesjid.

Saya bersiap untuk tahiyatul mesjid, namun Sari ikut berdiri bingung, celingak-celinguk ke kanan-kiri-depan-belakang memperhatikan sekeliling mesjid yang sudah penuh dengan jamaah.

“Duduk saja ya?”, saya meminta Sari duduk dengan tenang.

***

Jamaah jumat sebagian sudah mulai meninggalkan pelataran, namun sebagian masih terlihat menyelesaikan sholat sunat. Saya meluruskan kaki.

“Ayuk, Ayah!”, Sari mengajak pergi.

“Ntarlah, masih penuh, lihat tuh!”, saya menunjuk pintu keluar masjid yang masih berjubel.

Bersamaan dengan itu saya melihat ada keributan yang tidak biasa di tengah kerumunan yang berjubel di tangga turun mesjid sebelah Utara.

Suara ribut-ribut ini lebih tampak seperti ada pertengkaran kecil.

Kepenasaranan membuat saya segera berdiri, tangan Sari saya raih, saya gandeng. Kami bergegas menuju sumber keributan di anak tangga.

Seorang pria menghardik: “Kalau kamu salah ambil, coba mana sepatu kamu, ayo mana!”. Seorang bapak memelototi pria 40 tahunan berkulit gelap yang kumisnya hitam lebat.

Saya terkesima, saya mengenal pria ini. Masya Allah, ini kan laki-laki yang pernah saya hadiahi sepatu-sandal Weidenmann beberapa minggu lalu.

“Bawa saja ke polisi”, seseorang menyahut.

Ada juga yang nyeletuk: “Pukulin saja biar kapok”.

Saya melihat orang-orang lebih banyak yang menonton. Ada yang wajahnya biasa, ada yang ikut tegang, namun beberapa ada yang senyum-senyum melihat situasi seperti ini.

Sementara ada juga yang berusaha menenangkan si Bapak yang emosional karena sepatunya hampir dibawa kabur itu.

“Sudahlah, sabar pak”.

“Sabar sih gampang mas!, tapi orang kayak gini harus dikasih pelajaran, orang ginian yang bikin mesjid gak aman!”.

Si Bapak yang masih marah ini berbicara sambil mendorong laki-laki yang tertangkap basah ini. Pak Kumis ini agak terhuyung, ia tampak pasrah, wajahnya dingin.

Saya tidak bisa membiarkan ini, tanpa banyak pikir, tanpa banyak pertimbangan, saya merangsek masuk ke kerumunan dengan perlahan dengan tetap menggandeng Sari.

“Pak!, pak!, maaf!”, saya setengah berteriak.

Orang-orang menoleh dan memberi jalan.

“Maaf, ini tukang kebon saya”, saya maju dan lalu memegang pundak pria Weidenmann ini.

Saya tidak mau memberi kesempatan orang-orang berpikir, terutama Bapak yang hampir kemalingan, sehingga saya terus nyerocos.

“Maaf sekali lagi, pak Saeful ini memang eemm..., apa ya?. Dulu dia sekolah di SLB”.

Saya membuat jeda sebentar, kali ini supaya kalimat saya dicerna oleh para jamaah jumat rahimakumullah.

Dan tipuan ini tampaknya berhasil. Ide bahwa si Saeful ini “terbelakang” atau “mental retarded” begitu saja muncul di kepala saya.

“Tapi sekarang jadi tukang kebon saya. Jadi sekali lagi maaf, bapak-bapak tolong memaklumi kalau dia rada error. Tolonglah ya..., kasihan”, saya mengembangkan senyum ke sekeliling.

Para “hadirin” tampak saling berpandangan.

“Dia bareng bapak?”, si bapak yang hampir kecolongan sepatunya bertanya dan tampak masih waspada.

“Ya. Tadi saya kelamaan di dalam, saya nggak lihat pak Saeful keluar duluan, harusnya saya dampingi”, saya jawab sembari heran sendiri, kenapa kalimat ini demikian saja meluncur dan terucap seperti itu. Padahal kalau dipikir lebih lanjut, apa sih peduli dan kepentingan saya dengan maling sial ini?.

Saya menoleh ke laki-laki yang sudah saya beri nama “pak Saeful”.

“Pak Ipul lupa lagi ya sepatunya yang mana?”. Saya geli dalam hati. Selain sudah memberi nama baru, saya juga sudah memberikan nama panggilan “Pak Ipul”, jangan-jangan saya juga sudah ikut error?.

“ee... iya”, pak Ipul menunduk, lalu celingak-celinguk berlagak mencari.

Kerumunan mulai terbuka, orang-orang senyam-senyum, bergumam, berbisik-bisik antar rekannya, ada yang memandang pak Saeful dengan pandangan kasihan.

“Sepatu pak Ipul kan disana. Saya kan nyimpen sepatu di sana juga”, saya menunjuk ke arah mesjid sebelah Selatan, yang letaknya di kanan mesjid.

“Oh iya”, pak Ipul Kumis ini mengangguk-angguk. Kami berjalan masuk kembali ke mesjid.

Saya sengaja tidak lagi memandang atau melihat reaksi lanjutan dari orang-orang yang mungkin masih memperhatikan kami, terutama bapak yang nyaris kecolongan sepatu tadi. Dengan permintaan maaf dan bersikap rada cuek, itu sudah cukup untuk menyempurnakan sandiwara ini.

Sandiwara? Kenapa ini saya lakukan? Kami berjalan menyeberangi ruang mesjid, melintas dari pintu Utara ke pintu Selatan. Saya menggandeng Sari, yang dari tadi tidak bersuara karena dia terlalu kecil untuk memahami drama satu babak ini.

Sementara Pak Saeful, Pak Ipul, Pak Kumis, atau entah siapa namanya ini, berjalan mengikuti di samping kiri saya, agak kebelakang setengah meter.

Kami tidak berkata-kata. Sambil berjalan saya sempat berpikir, kenapa saya tiba-tiba membela maling kambuhan ini, menolong untuk kedua kalinya, saya berjalan sambil mencari-cari pembenaran terhadap apa yang telah saya lakukan ini.

Menjelang mendekati pintu Selatan, pikiran saya mulai bergerak dari pemikiran analisis-teoritis-idealis ke proses pemikiran realistis-praktis. Saya mulai berpikir, si Saeful ini ngapain masih nguntit saya, bukankah dia yang tahu dimana letak sandal buntutnya ia simpan. Atau ia mau Weidenmann lagi?

Kami sampai di tangga turun pintu Selatan, saya menghampiri sepatu saya dan Sari.

Kami berdua duduk di anak tangga pertama, lalu mulai memasang kaos kaki.

Pak Ipul berdiri terpaku di belakang kami. Saya sengaja masih cuek.

Begitu selesai mengikat sepatu, saya menoleh, “Tadi bawa sandal nggak?”.

Pak Saeful nggak menjawab, wajahnya kuyu. Ia mendekat perlahan. Lalu ikut duduk di samping kiri saya. Ia mengambil jarak sekitar satu meter. Termenung.

Kedua telapak tangannya mencengkeram kedua lututnya.

“Pake sandal nggak?”, saya mengulang pertanyaan. Ia menggeleng.

“Saya lupa tadi pake apa”, jawabnya singkat.

Saya terdiam. Melihat arloji, lalu berdiri.

“Saya inget bapak kok”, katanya lagi tanpa berani memandang saya.

Saya menoleh, memperhatikan wajahnya. Ia masih tak berani menatap.

“Saya malu sama bapak”.

Saya diam tak menjawab.

“Kenapa bapak nolong saya lagi?”.

“Saya nggak nolong pak Ipul, tapi nolong bapak yang tadi”. Saya terdiam sebentar.

“Dia sudah emosi tadi, nggak baik bagi dia, kalo sampai gebukin orang. Apalagi habis jumatan, di pelataran mesjid lagi”.

Sembari mengucapkan ini, sempet terlintas di benak saya, kalau yang tertangkap basah adalah koruptor milyaran, mungkin dibiarkan saja digebukin seluruh jamaah mesjid.

“Ya tapi bapak juga sudah nolong saya tadi. Itu yang bikin saya malu”, pak Ipul mengucapkan ini lagi, kali ini ia memandang saya.

Saya menoleh ke Sari, “Makan di warung sini saja ya?”.

Sari menjawab: “Terserah ayah saja, aku kan sudah makan, tadi dibekelin mama”.

Saya menoleh ke Pak Saeful. “Kita makan dulu di warung depan situ”. Saya menunjuk Warung Soto Betawi yang letaknya diluar pagar Mesjid sebelah Selatan.

“Nggak pak, makasih”, ia menolak.

“Saya yang bayar”, saya menegaskan tapi ia tetap menggeleng.

“Kamu sudah makan?”.

Ia menggeleng lagi.

“Kamu ini tadi ambil sepatu orang. Belum makan. Tapi ditraktir makan nggak mau”.

“Bapak ini orang aneh”, kali ini ia pasang wajah gusar. Mengingatkan saya pada kejadian 2 bulan lalu. Ini wajah marah yang sama ketika ia mengancam.

“Kamu akan saya kasih kerjaan, kita obrolin sambil makan”.

Ia tampak sedikit terkejut.

“Ayolah, saya harus antar anak saya lalu balik ke kantor”. Suara saya terdengar lebih tegas dan bernada perintah.

Pak Saeful berdiri perlahan, lalu mengikuti kami tanpa alas kaki, menuruni anak tangga.

[BERSAMBUNG]